Guru Menulis

Cerpen : Adelweis

Ilustrasi Cerpen Adelweis. Foto : republika

Cerpen : Adelweis

Oleh : Titien Suprihatien

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Arunika mulai terlihat di balik gunung. Tidak hanya indah, tetapi sangat indah, membuat Adelweis semakin ingin ke sana.

Sepanjang hidupnya, ia belum pernah mendaki gunung, padahal Adelweis tinggal di pegunungan, bahkan namanya sendiri adalah nama bunga keabadian. Ingin, sangat ingin, Adel sangat ingin melihat keindahan alam dari puncak gunung itu, tetapi pesan dari Alisma mamanya mengikat Adel, hingga ia menahan diri untuk tidak mendaki.

Alisma adalah segalanya bagi Adelweis, wanita itu membesarkannya seorang diri. Ia tidak punya ayah, Alisma ibunya lah yang merangkap menjadi ayah. Dahulu ketika kecil Adel sering bertanya tentang ayahnya. Alisma menjawab bahwa ayahnya sedang pergi merantau dan suatu saat akan kembali. Namun, hingga kini, penantian itu masih menanti.

Adel tahu ada sesuatu yang disembunyikan Alisma. Namun, Adel menahan diri untuk tidak terus bertanya, apalagi setelah ia beranjak dewasa. Melihat bagaimana perjuangan Alisma Adel yakin ada luka yang mamanya simpan.

Mereka berdua hidup di desa di lereng gunung. Jauh dari keramaian kota, Alisma bertani sambil memelihara ikan dan itik. Setiap hari, Alisma mengurus tanamannya di parak. Parak adalah ladang, di sana Alisma menanam kacang pagar, kentang, kembang kol, daun bawang, dan juga mananam padi di sawah.

Di sekeliling rumahnya ada empat buah tabek tempat Alisma memelihara ikan dan di belakang rumah dekat sawah mereka Alisma memelihara ribuan itik. Kondisi ini adalah kondisi paling ideal untuk orang-orang patah hati, karena setiap hari bisa healing menikmati keindahan alam dengan udara yang sejuk alami.

“Adel, kenapa menung, Nak?” tanya Alisma, dari tadi ia memerhatikan Adelweis termenung menatap Arunika.


“Eh, Ama, nggak kenapa-napa, Ma, Adel sedang menikmati keindahan itu.”

Menunjuk arah puncak gurung, Adel kemudian melanjutkan kegiatannya. Jujur, Adelweis sangat suka mengumpulkan telur itik di pagi hari. Bahkan ini sudah menjadi rutinitasnya semenjak kecil. Tidak sendiri, Adel mengumpulkan telur berdua dengan Alisma. Kecuali ketika Adelweis sedang di tempat kos, semua dilakukan Alisma sendiri. Setidaknya mereka akan panen 500-600 butir telur itik setiap hari. Dan setiap hari juga akan ada agen yang menjemput ke kandang.

“Ya, sudah, Adel mandi lah, biar Ama yang selesaikan.” Tersenyum, Alisma menyuruh anaknya mandi.

“Tanggung, biar Adel selesaikan, Ama saja yang mandi duluan, setelah ini Adel kasih makan ikan,” kata Adelia.

Baca Juga: Cerpen : Istighfarku

“Ya, sudah, Ama ke dapur dulu ya, nanti ibu-ibu mau gotong royong membersihkan surau, jadi Ama mau buat ketan dan goreng pisang untuk dibawa ke surau.”

Mengangkut ember yang penuh telur itik, Alisma bergegas menuju dapur rumahnya. Dan Adelweis kembali mengumpulkan telur-telur itik.

Semua telur sudah dikumpulkan, itik-itik itu bersuara seolah mengajak Adelweis bicara. Ia mengerumuni gadis itu, karena Adel sedang membagi jatah makanan yang dimasukkan ke dalam wadah-wadah yang sudah diletakkan di banyak tempat di kandang itu.

Kandang itik itu bukan kandang yang tertutup, hanya sebagian yang tertutup, sebagian lagi hanya berupa pagar bambu. Di dalam kandang itu ada beberapa kolam tempat itik-itik berenang dan di tepi-tepi pagar ditanami berbagai tanaman yang sering dimakan itik untuk kudapan. Pokoknya dilihat dari sudut mana saja, Adel menilai, kandang itik yang dirancang Alisma itu terlihat sangat nyaman bagi itik-itiknya.

Selesai mengumpulkan telur dan memberi makan itik-itik, Adelia bergegas mengambil sapu lidi untuk membersihkan kandang itu. Tidak sulit melakukannya karena ia hanya perlu mengumpulkan kotoran, memasukkannya ke dalam angkong dan membawanya keluar kandang. Nanti mamanya Alisma yang akan membawa ke tempat pengomposan yang ada di bagian lain di belakang rumah mereka.

Adelweis melanjutkan tugasnya memberi makan ikan-ikan yang ia pelihara di tabek. Tabek adalah sejenis kolam yang airnya selalu mengalir. Air mengalir dari sawah, lalu mengalir lagi ke tabek yang lain. Tidak seperti kolam yang airnya hijau air di tabek relatif bersih karena selain berasal dari air pegunungan air tabek mengalami sirkulasi.

Di setiap tabek dipelihara ikan yang berbeda jenis. Ada ikan Nila, Mujair, Gurame, dan ikan Mas. Dalam setahun Alisma akan panen ikan dua kali dan uangnya digunakan untuk biaya kuliah Adelweis, termasuk untuk biaya kos dan lainnya. Sedangkan untuk biaya hidup harian Alisma menggunakan penghasilan dari telur itik dan parak. Mereka tidak miskin, bahkan Alisma bisa menabung untuk masa depan anaknya.

Selain berladang dan beternak, Alisma juga seorang penulis. Ia memanfaatkan waktu luang untuk menulis novel-novel yang menurut Adelweis sangat keren. Dan cukup jadi buah bibir di kalangan mahasiswa. Hanya saja tidak ada yang tahu bahwa novel-novel yang ngetren di kampusnya itu adalah karya mamanya, karena Alisma menggunakan nama pena dan ia tidak pernah mengadakan kegiatan jumpa pembaca.

Adelweis tahu, mamanya menulis untuk bercerita, menumpahkan semua rasa yang tak bisa disampaikan lewat kata-kata. Apalagi Alisma tidak terlalu banyak menghabiskan waktu untuk bergaul di masyarakat. Mamanya itu hanya berkumpul seperlunya untuk kegiatan-kegiatan yang pasti-pasti saja. Ia lebih sibuk ke parak atau mengurus itik-itik untuk kehidupan mereka berdua.
~~~
Semua sudah selesai, Adelweis langsung mandi setelah bercengkrama dengan itik dan ikan-ikannya. Sementara Alisma fokus mengoreng pisang. Ia mengoreng pisang yang ditebang sendiri dari belakang rumah. Ada setandang Pisang Tindalun jumbo yang sangat subur. Betapa tidak, Alisma memupuk semua tanamannya dengan kompos. Alisma sendiri yang membuat kompos dengan memanfaatkan kotoran itik dan sisa tumbuhan. Tidak sia-sia, bukan hanya Alisma yang suka melakukannya, karena ternyata semua yang ia kerjakan direkam oleh Adelweis dan membuat gadis itu menjadi seorang pecinta lingkungan.

“Wanginya.” Mengambil pisang goreng tanpa izin, Adelweis langsung duduk menikmati manisnya pisang goreng Tindalun ditemani segelas teh hangat yang sudah disiapkan Alisma.

“Bagaimana persiapan kukerta?” tanya Alisma sembari mengangkat pisang goreng.

“Alhamdulillah, sudah semua, tinggal menunggu hari H seminggu lagi, Ma,” jawab Adelweis.

“Alhamdulillah.” Tersenyum Alisma menarik kursi dan ikut bergabung menikmati pisang goreng dengan sepiring kecil ketan dan secangkir teh hangat.

Ma,” panggil Adelweis.

Baca Juga: Hujan Bulan Juni dan Aku Ingin, Dua Puisi Karya Sapardi Djoko Damono yang Fenomenal

“Ya, ada apa?” mengerutkan kening, Alisma yakin, anaknya sedang ingin bicara serius.

“Adel mau minta izin, boleh?”

“Minta izin apa? Nak? Kalau hal positif tentu Ama izinkan,” jawab Alisma.

“Teman-teman mengajak naik gunung,” jawab Adel singkat, ia tahu jika tidak mungkin mamanya mengizinkan.

“Apakah Ama harus menjawab? Adel sudah tahu kan apa jawaban, Ama.” Berdiri Alisma kemudian membungkus pisang goreng dengan ketan. Sekepal ketan diletakkan di atas daun pisang, diberi sedikit parutan kelapa yang sudah ditambahkan garam halus dan di atasnya diletakkan sebuah goreng pisang. Lalu daun pisang dilipat sedemikuan rupa hingga ketan dan goreng itu terbungkus sempurna.

Alisma melakukannya dalam diam seperti Adelweis yang juga diam menyaksikan aktivitas mamanya. Hingga wanita itu pamit ke surau Adelweis masih diam dengan isi hatinya. Ia tahu bahwa dirinya tidak akan melakukan apa yang dilarang amanya. Namun, ia juga tidak bisa menolak ajakan Rizaldi, laki-laki yang baru dua minggu ini menjadi kekasihnya. Bahkan Adel belum menceritakan itu kepada Alisma.

Dari halaman surau, Alisma melihat anaknya berjalan menuju tempat itu, meminta izin untuk ke kampus. Alisma mengizinkan Adelweis ke kampus, ia yakin anak gadisnya itu tidak akan melakukan hal yang ia tidak izinkan.
~~~
Adelweis mengira ia akan bisa mengendarai motor matic-nya dengan tenang. Melaju mengikuti jalan menurun menuju kota tempat ia menempuh pendidikan. Namun, Adel keliru, dirinya tidak bisa fokus. Ia galau, belum bisa mengambil keputusan. Apalagi ponsel di saku jaket yang Adel kenakan terus meraung minta direspon.

Adelweis memutuskan untuk berhenti di sebuah lapau kecil, tidak bisa lagi dibiarkan, ponselnya terus berdering.

“Di mana?” tanya seseorang dengan nada ketus.

“Di jalan,” jawab Adelweis ketus.

“Aku sudah telepon ratusan kali, kenapa baru diangkat? WA juga tidak dibalas?

Maksudnya apa?” tanya laki-laki yang ternyata adalah Rizaldi.

Laki-laki yang baru dua minggu mengubah status jomblo abadi Adelweis. Iya, Dua minggu yang lalu Rizaldi tiba-tiba menyatakan cinta kepada Adelweis. Tidak mudah bagi Adelweis untuk menerima cinta Rizaldi. Namun, dukungan dari teman-teman dan sahabatnya membuat ia mau mencoba dan merasakan bagaimana rasanya punya pacar. Apalagi sejujurnya Adelweis sudah kagum kepada Rizaldi semenjak mereka menjadi mahasiswa baru, hanya saja Adelweis bukanlah cewek yang suka mengumbar rasa yang ia miliki dan ia merasa mengejar-ngejar pria adalah hal yang tidak wajar untuk dilakukan.

“Maaf, Aku tidak bisa ikut,” jawab Adelweis singkat.

Baca Juga: Puisi : Rindu Seorang Guru

“Adelweis, kamu ingat janjimu? Kamu harus ikut, Aku dan rombongan sudah di jalan, jadi kita ketemu di mana? Kamu tidak usah ke kampus.” Mematikan telepon begitu saja, Rizaldi tidak memberikan kesempatan kepada Adelweis untuk menolak.

Tiba di kota hujan Adelweis belok kanan menuju sebuah pasar yang ada di tepi jalan sebelum pintu masuk jalur pendakian. Sebenarnya di desa tempat Adelweis tinggal juga ada jalur pendakian, hanya saja Rizaldi tidak memilih jalur itu. Ia sudah mendaftar secara online di jalur yang sedang banyak diminati para pendaki.

Rizaldi beralasan jalur yang ia pilih lebih landai dan banyak dilalui pendaki apalagi pos jalur ini berada dekat dengan balai konservasi sumber daya alam. Sedangkan jalur dari kampung Adel adalah jalur tradisional dan tidak ada registrasi online.

Hampir lima belas menit duduk sambil makan kue bika, akhirnya rombongan yang ditunggu sampai di tempat itu. Ada empat belas orang, delapan perempuan dan enam orang laki-laki. Mereka adalah anak-anak pecinta alam di kampus Adelweis. Adelweis tahu dengan mereka, tetapi hanya sekedar kenal karena tidak ada yang satu fakultas dengan Adelweis.

Berbeda dengan Adelweis yang selalu tampil dengan sosok pendidik karena ia adalah calon guru, rata-rata perempuan di rombongan itu tampil tomboi dengan celana gunung dan jaket pria. Mereka membawa ransel besar dengan atribut-atribut ala pendaki yang tidak Adelweis miliki.

Adelweis masih diam ketika rombongan itu satu persatu duduk di lapau tempat Adel menunggu. Mereka rata-rata memesan teh hangat dan kue bika. Termasuk Rizaldi. Menunggu pesanannya, Rizaldi duduk di depan Adelweis. Ia menatap wajah Adelweis yang cantik dengan pandangan yang sulit untuk diartikan oleh Adelweis.

“Tidak usah takut, kan ada aku yang jaga kamu, lagian lucu, masak anak gunung tidak pernah naik gunung.” Masih menatap Adel, Rizaldi menyapa sembari mengunyah kue bika.

“Ama tidak kasih Adel izin, Adel tak berani ikut tanpa izin dari Ama.” Membalas tatapan Rizaldi, Adelweis mengucapkan apa yang dari tadi ingin ia ucapkan.

“Jadi?”

“Adel takut,”

“Aku tidak pernah minta izin ke orang tua, termasuk mereka semua, mana ada yang minta izin.” Memancungkan bibir, dengan dagu diangkat, Rizaldi menyatakan bahwa mereka pergi tanpa izin.

“Karena kalau minta izin, nggak bakalan diizinkan,” tambahnya.

“Adel tak berani.”

“Kamu sudah janji sama aku Adelweis, ingat itu.” Tegas, Rizaldi berdiri dan pindah ke tempat Herdin. Herdin adalah konco palangkin Rizaldi.

Baca Juga: Cerpen : Saat Mendaki Gunung

“Kenapa?” tanya Herdin melihat wajah kesal Rizaldi.

“Dia takut.” Cemberut, Rizaldi kesal melihat ekspresi mengejek Herdin, jelas dari raut wajah itu Herdin memberikan isyarat bahwa Rizaldi harus siap-siap untuk membuatkan laporan praktek lapangannya.

Mereka memang bertaruh, jika Rizaldi berhasil mengajak Adelweis ke puncak gunung maka Herdin akan membuatkan laporannya dan begitu juga sebaliknya, jika Rizalni tidak berhasil maka ia yang akan membuatkan laporan Herdin.

“Aku belum kalah yo, jangan senang dulu bro,” menghembuskan asap rokoknya Rizaldi tersenyum licik, ia sudah punya rencana untuk memaksa Adelweis secara halus.

Cukup beristirahat rombongan itu kembali melanjutkan perjalanan. Seperti tidak ada Adelweis di sana, Rizaldi mengomandoi rombongannya. Seharusnya Adel tersinggung karena diabaikan, tetapi ia berusaha tenang. Setelah membayar makanannya Adelweis ikut berjalan menuju motor dan melaju di belakang rombongan.

Mereka telah sampai dan mulai melakukan proses administrasi dan scan barcode yang tertera pada e-tiket. Semua pendaki memang harus melalui proses itu untuk memudahkan petugas dalam melakukan pengontrolan terhadap semua pendaki. Semua diingatkan untuk mematuhi SOP pendakian demi keselamatan pendaki.

Jika rombongan itu bersemangat dan terlihat begitu riang. Lain halnya dengan Adelweis, gadis itu masih berdiri di samping motor maticnya. Pandangannya tertuju pada seorang amai-amai yang sedang berjalan dengan bakul di kepala. di bawal bakul itu ada kain yang digulung yang dijadikan alas agar beban berat yang ia junjung tidak menyakiti kepalanya. Dari beberapa bagian yang terlihat keluar dari bakul, Adelweis menebak jika isinya adalah daun bawang. Ia yakin Amai-Amai itu baru panen daun bawang dari paraknya.

Melihat Amai itu, tak mudah bagi Adelweis untuk menahan air mata karena sama, amanya Alisma juga seperti itu. Tidak hanya bakul, bahkan ketiding besar berisi kacang bisa ia bawa di atas kepala dari parak ke rumah. tak jarang di sebelah tangan amanya juga menjinjing keranjang.

Ketika musim panen, pundak amanya akan mampu menahan beban satu karung padi sama persis dengan seorang laki-laki. Sedemikian, Adelweis tidak mampu untuk menghianati Alisma. Ia bahkan tidak mendengar panggilan Rizaldi yang berteriak memanggilnya. Bahkan laki-laki itu sedang berjalan menuju tempat Adelweis berdiri.

“Tunggu apa lagi? Ayo registrasi,” perintah Rizaldi.

“Maaf, aku tidak bisa ikut, aku mau pulang,” jawab Adelweis.

“Walau itu artinya kita putus?” tanya Rizaldi.

“Kamu mengancamku?”

“Iya, ini pilihan, jika kamu tidak mau ikut ke atas, kita putus, kamu tahu kan, masih banyak cewek lain yang antri untuk menjadi pacarku?”

“Baiklah, aku pulang, kamu hati-hati dan jaga diri baik-baik.” Memalingkan wajah, Adelweis tidak ingin Rizaldi melihat wajahnya yang sedih, tetapi jelas laki-laki itu tahu jika ada linangan di sudut mata gadis yang baru saja ia patahkan hatinya.

Sudah hampir dua jam berjalan, tetapi Rizaldi masih tidak enak hati. Ia sudah biasa memutuskan pacar-pacarnya selama ini, tetapi entah mengapa saat ini ia merasa sangat bersalah karena melukai hati seorang gadis baik-baik yang bahkan ia jadikan pacar hanya karena taruhan.

“Maaf, gua nggak jadi ikut, gue turun.” Tanpa menunggu tanggapan dari teman-temannya Rizaldi putar badan dan langsung bergegas turun. Tujuannya hanya satu, ia mau minta maaf dan mengakui kebohongannya.

Rombongannya tertawa terbahak-bahak melihat Rizaldi yang terlihat seperti lelaki bucin. Padahal ia yang mempermainkan hati Adelweis.

“Haha, kualat Rizaldi, makanya jangan suka mempermainkan hati wanita,” ujar salah seorang temannya. Puas menertawai Rizaldi yang berjalan turun, akhirnya mereka melanjutkan perjalanan setelah punggung Rizaldi tak lagi terlihat.

~~~

Kurang dari dua jam berjalan sendiri, akhirnya Rizaldi sampai di pintu masuk dan bergegas menuju motornya. Menjalankan motornya cepat ia ingin segera meninggalkan tempat itu, ia ingin mencari Adelweis dan minta maaf. Namun, belum lama Rizaldi memacu laju motornya ia terkejut mendengar suara dentuman dasyat,

Rizaldi berhenti dan melihat ke belakang, tetapi gunung itu tak lagi terlihat. Gunung itu sudah tertutup abu vulkanik yang baru dimuntahkan. Meneteskan air mata, Rizaldi tak percaya jika gunung yang baru saja ia turuni mengalami erupsi.

“Adelweis, terima kasih, aku selamat.” Menelepon Adelweis, Rizaldi menangis sejadi-jadinya.

Adelweis yang baru saja sampai di depan rumah bingung, ia tidak tahu mengapa Rizaldi menangis. Tanpa menjawab, ia langsung mematikan ponsel karena mereka juga sudah putus.

“Adelweis!” berlari dari rumah, Alisma memeluk anaknya yang masih berdiri di samping motornya.

“Terima kasih, Adel sudah mendengarkan kata-kata, Ama,” kata Alisma.

“Ada apa, Ma?” tanya Adelweis.

“Lihat itu, gunung erupsi.” Menunjuk ke arah gunung, Alisma bersyukur ia masih bisa memeluk putri.

~~~